SASTRA PEPARIKAN SEBAGAI REFLEKSI KONFLIK DI DESA PAKARAMAN SUBAYA, KECAMATAN KITAMANI, BANGLI PADA UPACARA NGUSABHA SAMBAH

Authors

  • I Nengah Adi Widana STAH Negeri Mpu Kuturan Singaraja
  • I Gusti Agung Rai Jayawangsa STAH Negeri Mpu Kuturan Singaraja

Keywords:

Sastra, Peparikan, Refleksi Konflik, Ngusabha Sambah

Abstract

Upacara agama Hindu tidak pernah lepas dari sastra, sastra yag umum dipergunakan adalah dalam bentuk tembang baik berupa sekar alit, madya, maupun agung. Penggunaan sastra adalam berbagai upacara agama hindu tidak terlepas dari sejarah pajang kesusastraan bali yang dibawa dari jawa bersama dengan penyebaran agama hindu. Hingga saat ini, penggunaan satra masih eksis dan berkembang baik itu di daerah pesisir maupun desa tradisional (desa pegunungan/kuna), salah satunya terjadi di Desa Pakraman Subaya Kintamani yang menggunakan peparikan (pantun) dalam upacara agamanya tepatnya pada saat upacara Ngusabha Sambah yang dilaksanakan di Pura Bale Agung acara ini juga dikenal dengan istilah singgihan. Pelaksanaannya dengan saling sindir menyindir antara daa dan truna dengan menggunakan peparikan (pantun), dimana pantun yang digunakan ada 2 (dua) jenis yaitu wajib dan bebas. Jenis peparikan bebas digunakan untuk merefelksikan berbagai peristiwa yang terjadi di desa ataupun luar desa, yang berupa fenomena alam maupun fenomena sosial. Untuk mengkaji makna dan refleksi konflik dalam peparikan yang digunakan dalam Upacara Ngusabha Sambah Menggunakan Teori Semiotika. Adapun berbagai macam konfik yang terdapat dalam peparikan yaitu: a) religius; berjalannya upacara ngusabha sambah, b) harapan hari esok lebih makmur, c) ketulusan hati, d) kerja keras, e) kondisi fisik masyarakat Subaya, f) pendidikan seks (seks education).

Downloads

Published

2022-12-27