Campur Kode dalam Komunikasi Generasi Muda Bali dengan Para Pandita di Kota Denpasar

Authors

  • Putu Gede Suarya Natha Sastra Jawa Kuna, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Udayana

Abstract

Bali memiliki konsep ruang dan waktu yang diakomodasi dalam ragam bahasanya yakni bahasa Bali alus dan kepara atau andap. Kedua ragam bahasa Bali tersebut digunakan dengan melihat aspek-aspek komunikasi di luar aspek bahasa seperti konteks dan latar belakang komunikator. Namun, kemampuan berbahasa Bali alus di kalangan generasi muda Bali masa kini mulai menurun. Kegiatan komunikasi yang menggunakan bahasa Bali khususnya pada generasi muda di masa kini juga terbilang jarang terjadi terutama di daerah ibu kota Denpasar. Kegiatan komunikasi berbahasa Bali khususnya ragam bahasa Bali alus, umumnya hanya terjadi di griya (kediaman pandita atau pendeta Hindu di Bali). Tulisan ini bertujuan untuk melihat bagaimana keadaan bahasa Bali dan sejauh mana bahasa Bali alus (sor singgih basa) itu digunakan oleh generasi muda Bali masa kini. Tulisan ini dibuat berdasarkan data yang diperoleh melalui pengamatan di beberapa Griya di Kota Denpasar. Data yang diperoleh dianalisis menggunakan teori etnografi komunikasi Hymes dan speech code dari Philipsen yang merupakan pengembangan teori Hymes. Hasil analisis menunjukkan bahwa bahasa Bali kurang dikuasai oleh generasi muda Bali. Karena kurang menguasai bahasa Bali (sor singgih basa) maka generasi muda ketika berbicara dengan para pendeta menggunakan strategi campur kode. Dari bentuk-bentuk campur kode yang digunakan, terdapat beberapa bentuk speech code yang sering kali muncul, di antaranya: ucapan doa atau salam Om Swastiastu; kata ganti titiang, Ratu; dan nomina abstrak ampura, sugra, nunas, dan suksma. Hasil analisis tersebut menunjukkan bahwa campur kode yang dilakukan merupakan suatu bentuk adab atau kesantunan dari komunikator.

Downloads

Published

2023-12-27